December 4, 2012

Adab Majelis Ilmu

Oleh Ustadz Kholid Syamhudi

Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda:

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ 

"Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan Kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada di dekat-Nya. Barangsiapa yang kurang amalannya, maka nasabnya tidak mengangkatnya."



Takhrij Hadits

Hadits ini merupakan potongan dari hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah oleh:

  • Muslim, dalam Shahihnya, Kitab adz-Dzikir wad Du’a, Bab Fadhlul Ijtima’ ‘ala Tilawatil Qur’an wa ‘ala Dzikr, nomor 6793, juz 17/23. (Lihat Syarah an-Nawawi)
  • Abu Daud dalam Sunannya, Kitabul Adab, Bab Fil Ma’unah lil Muslim nomor 4946.
  • Ibnu Majah dalam Sunannya, Muqaddimah, Bab Fadhlul Ulama wal Hatsu ‘ala Thalabul Ilmi nomor 225.

Faidah Hadits

Pertama: Arti Penting Majelis Ilmu

Majelis ilmu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari para ulama rabbani. Bahkan mengadakan majelis ilmu merupakan perkara penting yang harus dilakukan oleh seorang ‘alim. Karena hal itu merupakan martabat tertinggi para ulama rabbani, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala:

مَاكَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللهِ وَلَكِن كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ

"Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: 'Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.' Akan tetapi (dia berkata): 'Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.'" (QS. Ali Imran: 79)

Hal ini pun dilakukan Rasulullah. Beliau shallallahu 'alayhi wa sallam menganjurkan kita untuk menghadiri majelis ilmu. Dengan sabdanya,

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ 

"Jika kalian melewati taman syurga maka berhentilah. Mereka bertanya, 'Apakah taman syurga itu?' Beliau menjawab, 'Halaqah dzikir (majelis Ilmu).'" (HR. at-Tirmidzi dan dishahihkan Syaikh Salim bin Ied al-Hilali dalam Shahih Kitabul Adzkar 4/4)

Demikian juga para Salafusshalih sangat bersemangat mengadakan dan menghadirinya. Oleh karena itu kita dapatkan riwayat tentang majelis ilmu mereka. Di antaranya majelis Abdillah bin Mas’ud di Kufah, Abu Hurairah di Madinah, Imam Malik di masjid Nabawi, Syu’bah bin al-Hajjaj, Yazid bin Harun, Imam Syafi’i, Imam Ahmad di Baghdad, Imam Bukhari dan yang lainnya.

Kedua: Faidah dan Keutamaan Majelis Ilmu

Di antara faidah majelis ilmu ialah:
  • Mengamalkan perintah Allah subhanahu wa ta'ala dan Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam dan mencontoh jalan hidup para Salafusshalih.
  • Mendapatkan ketenangan.
  • Mendapatkan rahmat Allah subhanahu wa ta'ala.
  • Dipuji Allah di hadapan para malaikat.
  • Mengambil satu jalan mendapatkan warisan para Rasul.
  • Mendapatkan ilmu dan adab dari seorang alim.

Ketiga: Adab Majelis Ilmu.
Perkara yang harus diperhatikan dan dilakukan agar dapat mengambil faidah dari majelis ilmu ialah:

[1] Ikhlash
Hendaklah kepergian dan duduknya seorang penuntut ilmu ke majelis ilmu, hanya karena Allah semata. Tanpa disertai riya’ dan keinginan dipuji orang lain. Seorang penuntut ilmu hendaklah ber-mujahadah dalam meluruskan niatnya. Karena ia akan mendapatkan kesulitan dan kelelahan dalam meluruskan niatnya tersebut. Oleh karena itu Imam Sufyan ats-Tsauri berkata, “Saya tidak merasa susah dalam meluruskan sesuatu melebihi niat.”

[2] Bersemangat Menghadiri Majelis Ilmu
Kesungguhan dan semangat yang tinggi dalam menghadiri majelis ilmu tanpa mengenal lelah dan kebosanan sangat diperlukan sekali. Janganlah merasa cukup dengan menghitung banyaknya. Akan tetapi hitunglah berapa besar dan banyaknya kebodohan kita. Karena kebodohan sangat banyak, sedangkan ilmu yang kita miliki hanya sedikit sekali.

Lihatlah kesemangatan para ulama terdahulu dalam menghadiri majelis ilmu. Abul Abbas Tsa’lab, seorang ulama nahwu berkomentar tentang Ibrahim al-Harbi, “Saya tidak pernah kehilangan Ibrahim al-Harbi dalam majelis pelajaran nahwu atau bahasa selama lima puluh tahun.”

Lantas apa yang diperoleh Ibrahim al-Harbi? Akhirnya beliau menjadi ulama besar dunia. Ingatlah, ilmu tidak didapatkan seperti harta waris. Akan tetapi dengan kesungguhan dan kesabaran.

Alangkah indahnya ungkapan Imam Ahmad bin Hambal, “Ilmu adalah karunia yang diberikan Allah kepada orang yang disukai-Nya. Tidak ada seorangpun yang mendapatkannya karena keturunan. Seandainya didapat dengan keturunan, tentulah orang yang paling berhak ialah ahli bait Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam.” Demikian juga Imam Malik, ketika melihat anaknya yang bernama Yahya keluar dari rumahnya bermain, “Alhamdulillah, Dzat yang tidak menjadikan ilmu ini seperti harta waris.”

Abul Hasan al-Karkhi berkata, “Saya hadir di majelis Abu Khazim pada hari Jum’at walaupun tidak ada pelajaran, agar tidak terputus kebiasaanku menghadirinya.”

Lihatlah semangat mereka dalam mencari ilmu dan menghadiri majelis ilmu. Sampai akhirnya mereka mendapatkan hasil yang menakjubkan.

[3] Bersegera Datang ke Majelis Ilmu dan Tidak Terlambat, Bahkan Harus Mendahuluinya dari Selainnya
Seseorang bila terbiasa bersegera dalam menghadiri majelis ilmu, maka akan mendapatkan faidah yang sangat banyak. Sehingga Asysya’bi ketika ditanya, “Dari mana engkau mendapatkan ilmu ini semua?” ia menjawab, “Tidak bergantung kepada orang lain; bepergian ke negeri-negeri dan sabar seperti sabarnya keledai, serta bersegera seperti bersegeranya elang.”

[4] Mencari dan Berusaha Mendapatkan Pelajaran yang Ada di Majelis Ilmu yang Tidak Dapat Dihadirinya
Terkadang seseorang tidak dapat menghadiri satu majelis ilmu karena alasan tertentu, seperti: sakit dan yang lainnya. Sehingga tidak dapat memahami pelajaran yang ada dalam majelis tersebut. Dalam keadaan seperti ini hendaklah ia mencari dan berusaha mendapatkan pelajaran yang terlewatkan itu. Karena sifat pelajaran itu seperti rangkaian. Jika hilang darinya satu bagian, maka dapat mengganggu yang lainnya.

[5] Mencatat Faidah-faidah yang Didapatkan dari Kitab
Mencatat faidah pelajaran dalam kitab tersebut atau dalam buku tulis khusus. Faidah-faidah ini akan bermanfaat jika dibaca ulang dan dicatat dalam mempersiapkan materi mengajar, ceramah dan menjawab permasalahan. Oleh karena itu sebagian ahli ilmu menasihati kita. Jika membeli sebuah buku, agar tidak memasukkannya ke perpustakaan, kecuali setelah melihat kitab secara umum. Caranya dengan mengenal penulis. Pokok bahasan yang terkandung dalam kitab dengan melihat daftar isi, dan membuka-buka sesuai dengan kecukupan waktu sebagian pokok bahasan kitab.

[6] Tenang dan Tidak Sibuk Sendiri dalam Majelis Ilmu
Ini termasuk adab yang penting dalam majelis ilmu. Imam adz-Dzahabi menyampaikan kisah Ahmad bin Sinan, ketika beliau berkata, “Tidak ada seorang pun yang bercakap-cakap di majelis Abdurrahman bin Mahdi. Pena tak bersuara. Tidak ada yang bangkit. Seakan-akan di kepala mereka ada burung atau seakan-akan mereka berada dalam shalat.”

[7] Tidak Boleh Berputus Asa
Terkadang sebagian kita telah hadir di suatu majelis ilmu dalam waktu yang lama. Akan tetapi tidak dapat memahaminya kecuali sedikit sekali. Lalu timbul dalam diri kita perasaan putus asa dan tidak mau lagi duduk di sana. Tentunya hal ini tidak boleh terjadi. Karena telah dimaklumi, bahwa akal dan kecerdasan setiap orang berbeda. Kecerdasan tersebut akan bertambah dan berkembang karena dibiasakan. Semakin sering seseorang membiasakan dirinya, maka semakin kuat dan baik kemampuannya. Lihatlah kesabaran dan keteguhan para ulama dalam menuntut ilmu dan mencari jawaban satu permasalahan! Lihatlah apa yang dikatakan Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, “Ada satu masalah yang belum saya pahami. Lalu saya kembali ke rumah dan saya meneliti dan terus meneliti. Sedangkan pembantuku meletakkan lampu atau lilin di atas kepala saya. Saya terus meneliti dan minum teh hijau sampai lewat tiga perempat hari, sampai terbit fajar hari itu.” Kemudian beliau berkata, “Lalu terpecahlah masalah tersebut.”

Lihatlah bagaimana beliau menghabiskan harinya dengan meneliti satu permasalahan yang belum jelas baginya.

[8] Jangan Memotong Pembicaraan Guru atau Penceramah
Termasuk adab yang harus diperhatikan dalam majelis ilmu yaitu tidak memotong pembicaraan guru atau penceramah. Karena hal itu termasuk adab yang jelek. Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam mengajarkan kepada kita dengan sabdanya:

ليس منا من لم يجل كبيرنا و يرحم صغيرنا و يعرف لعالمنا حقه

"Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama." (HR. Ahmad dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami’)

Imam Bukhari menulis di Shahihnya, Bab Orang yang Ditanya Satu Ilmu dalam Keadaan Sibuk Berbicara, Hendaknya Menyempurnakan Pembicaraannya. Kemudian menyampaikan hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنْ السَّاعَةِ قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ

"Dari Abu Hurairah, beliau berkata: Ketika Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam berada di majelis menasihati kaum, datanglah seorang A’rabi dan bertanya: 'Kapan hari kiamat?' (Tetapi) beliau terus saja berbicara sampai selesai. Lalu (beliau shallallahu 'alayhi wa sallam) bertanya: 'Mana tampakkan kepadaku yang bertanya tentang hari kiamat.' Dia menjawab: 'Saya, wahai Rasulullah.' Lalu beliau berkata: 'Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat.' Dia bertanya lagi: 'Bagaimana menyia-nyiakannya?' Beliau menjawab: 'Jika satu perkara diberikan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat.'" (HR. Bukhari)

Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam dalam hadits ini berpaling dan tidak memerhatikan penanya untuk mendidiknya.

[9] Beradab dalam Bertanya
Bertanya adalah kunci ilmu. Juga diperintahkan Allah subhanahu wa ta'ala dalam firman-Nya:

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (QS. an-Nahl: 43)

Demikian pula Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam mengajarkan, bahwa obat kebodohan yaitu dengan bertanya, sebagaimana sabdanya:

أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ 

"Seandainya mereka bertanya! Sesungguhnya obatnya kebodohan adalah bertanya." (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi dan dishahihkan Syaikh Salim al-Hilali dalam Tanqihul Ifadah al-Muntaqa min Miftah Daris Sa’adah, hal. 174)

Imam Ibnul Qayyim berkata, ”Ilmu memiliki enam martabat. Yang pertama, baik dalam bertanya… Ada di antara manusia yang tidak mendapatkan ilmu, karena tidak baik dalam bertanya. Adakalanya, karena tidak bertanya langsung. Atau bertanya tentang sesuatu, padahal ada yang lebih penting, seperti bertanya sesuatu yang tidak merugi jika tidak tahu dan meninggalkan sesuatu yang mesti dia ketahui.”

Demikian juga al-Khathib al-Baghdadi memberikan pernyataan, ”Sepatutnyalah rasa malu tidak menghalangi seseorang dari bertanya tentang kejadian yang dialaminya.”

Oleh karena itu perlu dijelaskan beberapa adab yang harus diperhatikan dalam bertanya, di antaranya:

- Bertanya perkara yang tidak diketahuinya dengan tidak bermaksud menguji
Hal ini dijadikan syarat pertanyaan oleh Allah subhanahu wa ta'ala dalam firman-Nya:

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui." (QS. an-Nahl: 43)

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta'ala menyebutkan syarat pertanyaan adalah tidak tahu. Sehingga seseorang yang tidak tahu bertanya sampai diberitahu. Tetapi seseorang yang telah mengetahui suatu perkara diperbolehkan bertanya tentang perkara tersebut, untuk memberikan pengajaran kepada orang yang ada di majelis tersebut. Sebagaimana yang dilakukan Jibril kepada Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam dalam hadits Jibril yang masyhur.

- Tidak boleh menanyakan sesuatu yang tidak dibutuhkan, yang jawabannya dapat menyusahkan penanya atau menyebabkan kesulitan bagi kaum Muslimin
Sebagaimana Allah subhanahu wa ta'ala melarang dalam firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَسْئَلُوا عَنْ أَشْيَآءَ إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِن تَسْئَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْءَانُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللهُ عَنْهَا وَاللهُ غَفُورٌ حَلِيمُُ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu al-Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (QS. al-Maidah: 101)

Dan sabda Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam:

إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ

"Seorang Muslim yang paling besar dosanya adalah orang yang bertanya sesuatu yang tidak diharamkan, lalu diharamkan karena pertanyaannya." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad)

Oleh karena itulah para shahabat dan tabi’in tidak suka bertanya tentang sesuatu kejadian sebelum terjadi. Rabi’ bin Khaitsam berkata, “Wahai Abdullah, apa yang Allah berikan kepadamu dalam kitab-Nya dari ilmu maka syukurilah, dan yang Allah tidak berikan kepadamu, maka serahkanlah kepada orang ‘alim dan jangan mengada-ada. Karena Allah subhanahu wa ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya:

قُلْ مَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ

"Katakanlah (hai Muhammad), 'Aku tidak meminta upah sedikit pun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. al-Qur'an ini, tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita al-Qur'an setelah beberapa waktu lagi.'" (QS. Shad: 86-88)

- Diperbolehkan bertanya kepada seorang ‘alim tentang dalil dan alasan pendapatnya
Hal ini disampaikan al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Faqih wal Mutafaqih 2/148, “Jika seorang ‘alim menjawab satu permasalahan, maka boleh ditanya apakah jawabannya berdasarkan dalil ataukah pendapatnya semata.”

- Diperbolehkan bertanya tentang ucapan seorang ‘alim yang belum jelas. Berdasarkan dalil hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَلَمْ يَزَلْ قَائِمًا حَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرِ سَوْءٍ قُلْنَا وَمَا هَمَمْتَ قَالَ هَمَمْتُ أَنْ أَقْعُدَ وَأَدَعَهُ

"'Saya shalat bersama Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, lalu beliau memanjangkan shalatnya sampai saya berniat satu kejelekan.' Kami bertanya kepada Ibnu Mas’ud, 'Apa yang engkau niatkan?' Beliau menjawab, 'Saya ingin duduk dan meninggalkannya.'" (HR. Bukhari dan Muslim)

- Jangan bertanya tentang sesuatu yang telah engkau ketahui jawabannnya, untuk menunjukkan kehebatanmu dan melecehkan orang lain

[10] Mengambil Akhlak dan Budi Pekerti Gurunya
Tujuan hadir di majelis ilmu, bukan hanya terbatas pada faidah keilmuan semata. Ada hal lain yang juga harus mendapat perhatian serius. Yaitu melihat dan mencontoh akhlak guru. Demikianlah para ulama terdahulu. Mereka menghadiri majelis ilmu, juga untuk mendapatkan akhlak dan budi pekerti seorang ‘alim. Untuk dapat mendorong mereka berbuat baik dan berakhlak mulia.

Diceritakan oleh sebagian ulama, bahwa majelis Imam Ahmad dihadiri lima ribu orang. Dikatakan hanya lima ratus orang yang menulis, dan sisanya mengambil faidah dari tingkah laku, budi pekerti dan adab beliau.

Abu Bakar al-Muthaawi’i berkata, “Saya menghadiri majelis Abu Abdillah –beliau sedang meng-imla’ musnad kepada anak-anaknya- duabelas tahun. Dan saya tidak menulis, akan tetapi saya hanya melihat kepada adab dan akhlaknya.”

Demikianlah perihal kehadiran kita dalam majelis ilmu. Hendaklah bukan semata-mata mengambil faidah ilmu saja, akan tetapi juga mengambil semua faidah yang ada.

Demikian sebagian faidah yang dapat diambil dari hadits ini. Mudah-mudahan bermanfaat.

[Dikutip dari almanhaj.or.id]