April 7, 2013

Berpakaian Sesuai Pakaian Penduduk Negeri

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ

“Barangsiapa memakai pakaian syuhrah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4029, Ibnu Majah no. 3606-3607, dan yang lainnya; Shahih]

asy-Syaukani rahimahullah berkata:

قال ابن الأثير : الشهرة ظهور الشيء والمراد أن ثوبه يشتهر بين الناس لمخالفة لونه لألوان ثيابهم فيرفع الناس إليه أبصارهم ويختال عليهم بالعجب والتكبر

“Ibnul-Atsir berkata: asy-Syuhrah adalah tampaknya sesuatu. Maksudnya bahwa pakaiannya populer di antara manusia karena warnanya yang berbeda sehingga orang-orang mengangkat pandangan mereka (kepadanya). Dan ia menjadi sombong terhadap mereka karena bangga dan takabur.” [Nailul-Authar, 2/111 – via Syamilah]

March 29, 2013

Kisah Asatidz ala Jogja

Ustadz Aris Munandar

Adalah seorang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Aris Munandar. Ia diberi perhatian lebih dalam ilmu-ilmu ushul dan metode manhaj beragama. Sepertinya dari tingkat SMA ia sudah sangat menguasai pokok keilmuan Islam, terlebih bahasa Arab. Ketika masih duduk di SMA saja sudah berguru kepada para ulama di daerahnya, salah satunya adalah alumni terbaik Pesantren Tremes di zamannya. Di tingkat kuliah ia sudah matang ilmu ushul keislamannya. Sehingga tidak aneh ketika seorang ustadz menyampaikan suatu isi kitab, ia mampu membetulkan ucapan ustadz tersebut. Kuliah di UIN ia selesaikan dengan baik, hingga selang kemudian berlanjut menempuh jenjang S2 dengan baik pula.

Kini ia adalah Ustadzuna al-Ustadz al-Fadhil Aris Munandar, MA hafizhahullah. Sosok sang ustadz yang bersahaja dan tawadhu’. Bersama beberapa ustadz lainnya, beliau berhasil mendidik mahasiwa kuliahan umum menjadi sarjana-sarjana yang mampu mendakwahkan agamanya dengan berdasarkan ilmu yang shahih. Sehingga ia menjadi pendidik dan pencerah para remaja dan pemuda yang semangat dalam menuntut ilmu agama di Yogyakarta.

Ia hanyalah seorang pelajar sekolah menengah SMA yang sering hadir di pengajian masih berseragam putih abu-abu di sore hari selepas sekolah.

January 17, 2013

Ketika Kemaksiatan Begitu Mudah

Saat ini, keberadaan maksiat dipandang sebagai sebuah tradisi yang wajar. Bahkan dianggap kebutuhan pokok oleh sekelompok orang. Walhasil, panca indera kita pun akrab dengan pelbagai bentuk kemaksiatan. Mulai dari yang kecil hingga yang serius. Padahal Islam mengajarkan, maksiat -betapa pun kecil dan remeh bentuknya- akan membawa dampak negatif bagi kehidupan pribadi pelakunya dan masyarakat. Tak hanya di akhirat kelak, namun juga di dunia.

Mungkin seorang yang bermaksiat mendapatkan kesenangan saat melakukan kemaksiatan itu. Mungkin juga ia mendapatkan kenikmatan yang dirasakan ketika tengah berkubang dalam kemaksiatan tersebut. Namun, kesenangan yang dirasakannya itu hanyalah kesenangan yang menipu. Kenikmatan yang dirasakan itu tak lain adalah kenikmatan palsu. Semua itu karena pelaku maksiat tersebut hanya akan membuat murka Allah, Dzat yang telah menciptakan dirinya. Sekaligus menantang permusuhan kepada-Nya. Pelaku maksiat juga telah menyerobot sesuatu yang bukan menjadi haknya untuk dikerjakan. Sehingga, bagaimana mungkin dia bisa hidup dengan damai? Dan bagaimana jiwanya bisa tenang? Sedangkan Allah subhanahu wa ta'ala  berfirman di dalam al-Qur’an, artinya:

"Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan." (QS. an-Nisa: 14)

December 4, 2012

Adab Majelis Ilmu

Oleh Ustadz Kholid Syamhudi

Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda:

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ 

"Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan Kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada di dekat-Nya. Barangsiapa yang kurang amalannya, maka nasabnya tidak mengangkatnya."

October 26, 2012

Arafah, 9 Dzulhijjah 10 H

Hari itu Hari Tarwiyah tahun ke 10 H. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pergi menuju Mina dan melaksanakan shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan Shubuh di sana. Seusai menanti beberapa saat hingga matahari terbit, beliau lantas melanjutkan perjalanannya hing­ga tiba di Arafah. Tenda-tenda waktu itu telah didirikan. Beliau pun memasuki tenda yang telah disiapkan untuknya.

Setelah matahari tergelincir, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam meminta agar al-Qashwa’, unta beliau, didatangkan. Beliau kemudian menungganginya hingga tiba di tengah Padang Arafah. Di sana telah berkumpul sekitar 124.000 atau 144.000 kaum Muslimin. Beliau kemudian berdiri di hadapan mereka menyampaikan khutbah haji terakhir yang lebih dikenal dengan sebutan haji wada’:

“Wahai manusia! Dengarkanlah nasihatku baik-baik, karena barangkali aku tidak dapat lagi bertatap muka dengan kalian semua di tempat ini. Tahukah kalian, hari apakah ini?”

Para shahabat pun terdiam, dan mengira bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam akan mengatakan hari yang lain.